Sabtu, 25 Agustus 2012

Arung Palakka, Legenda dan Kontroversi

Arung Palakka, Legenda dan Kontroversi

Oleh: Andi Suruji
PANAS setahun terhapus hujan sehari. Begitu kira-kira analogi yang tepat dialamatkan kepada sosok seorang Bugis, La Tenritatta Arung Palakka, raja Bone ke-15 (1672-1696). Arung sendiri berarti raja atau bangsawan, Palakka adalah sebuah kerajaan kecil. Selama ini "stempel" yang melekat padanya adalah seorang pengkhianat. Karena, sejak tahun 1665 ia disebut-sebut "bergandengan tangan" dengan Kompeni Belanda untuk melepaskan rakyat Bone dari penjajahan Gowa. Ia memang berhasil melepaskan rakyat Bone dari penjajahan Gowa, menyusul ditandatanganinya Bongaisch Tractat (Perjanjian Bungaya), Jumat 18 Nopember 1667. Cap pengkhianat bagi Arung Palakka itu, ibarat "panas" yang membuat rakyat Bone "kegerahan". Panas yang menyengat lebih dua abad lamanya, kini terhapus bagai diguyur hujan dengan lahirnya keputusan seminar dua hari Menelusuri Jejak Sejarah Arung Palakka untuk Memperkaya Budaya Bangsa akhir Desember 1992 di kota Watangpone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Seminar yang menghabiskan biaya sekitar Rp 70 juta hasil swadaya masyarakat itu, berhasil menghapus cap pengkhianat Arung Palakka. Ia direkomendasikan menjadi tokoh pejuang pembebasan, pejuang kemanusiaan dan tokoh pemersatu. Seminar itu menampilkan sejumlah sejarawan, seperti Prof Dr Abu Hamid, Dr Mukhlis Paeni dari Universitas Hasanuddin, Dr Anhar Gonggong, Kasub. Direktorat Sejarah pada Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Depdikbud, serta sejarawan dan budayawan setempat sebagai pembicara. "Dulu ketika kami ingin menyebut nama Arung Palakka, tertahan di dada ini. Sekarang dengan hasil seminar ini, longgar saja kita menyebutnya," tutur Bupati Bone, Andi Syamsoel Alam, ketika memberikan sambutan pada penutupan seminar. *** BONE dan Gowa, di Sulawesi Selatan pada abad 17, adalah dua kerajaan yang sama-sama berdaulat dan sederajat. Tetapi dalam segala hal, Gowa jauh lebih besar. Akibat kepentingan mempertahankan eksistensi sebagai kerajaan terbesar di kawasan timur Nusantara, Gowa memperluas wilayah pengaruh dan kekuasaannya. Terbukti dengan dikuasainya sejumlah kerajaan kecil di wilayah itu. Namun pada saat yang sama kekuatan Kompeni Belanda ingin menguasai jalur-jalur perdagangan rempah-rempah dari timur Nusantara Akibatnya, terjadi persaingan ekonomi yang merembes ke bidang lain. Dalam usaha menguasai lebih banyak wilayah dan memperbesar pengaruhnya, Gowa berkali-kali terlibat perang dengan Bone. Sampai akhirnya Gowa berhasil menang, karena memiliki kekuatan yang jauh lebih besar. Di samping itu, Gowa pun berusaha melawan kekuatan Kompeni Belanda. Raja Bone La Maddaremmeng diasingkan ke Gowa sebagai konsekuensi kalah perang. Sejak itulah campur tangan Gowa terhadap Bone semakin besar. Bahkan menurut lontarak, naipoatana Bone seppulo pitu taung ittana (Maka, diperbudaklah Bone selama 17 tahun lamanya). Selama masa penawanan, La Tenritatta (nama kecil Arung Palakka) menjadi pengawal Mangkubumi, Karaeng Pattingalloang. Ia diberi gelar Arung Palakka oleh dewan adat Bone sebagai calon Mangkau (raja) Bone sekaligus bukti bahwa Bone tetap melawan Gowa. Ia mulai mengerti makna hidup, kebebasan dan harga diri (siri). Ia memahami dan menyadari betul perasaan dan penderitaan orang-orang Bone yang diperlakukan sewenang-wenang. Tindakan sewenang-wenang Gowa terhadap orang Bone, utamanya dalam kegiatan kerja paksa membangun pertahanan benteng di Somba Opu. Ketika itu, sekitar 10.000 orang dipaksa menyelesaikan parit pertahanan benteng untuk menahan serangan Kompeni Belanda. Pemaksaan pengumpulan hasil-hasil bumi dan pajak untuk membiayai perang Gowa-Kompeni Belanda semakin menambah penderitaan hidup orang Bone. Kesemuanya itu memicu semangat Arung Palakka menentang Raja Gowa. Ia lalu menyusun strategi perlawanan. Awal pemberontakannya, September 1660 yang berlangsung sekitar tiga bulan dengan cepat dipatahkan. Arung Palakka lalu melarikan diri ke Buton. Bersama Sultan Buton - juga dikuasai Gowa - Arung Palakka berkesimpulan bahwa hanya dengan menggunakan kekuatan Kompeni Belanda, dominasi Gowa dapat dipatahkan. Maka Arung Palakka memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Kompeni Belanda. Gowa dapat dikalahkan, dan Bone lepas dari penjajahan Gowa. *** PERJALANAN sejarah perjuangan membebaskan Bone dari penjajahan Gowa, membuat Arung Palakka menjadi tokoh legendaris. Setidaknya di mata orang Bone. "Dialah tokoh pejuang pembebasan rakyat Bone dari tindakan sewenang-wenang. Kendati bekerja sama pihak asing tetapi tujuannya hanyalah mengangkat harkat dan martabat rakyat Bone yang terinjak-injak," ujar Prof Dr Abdurrahman Suryomihardjo, pakar peneliti dari LIPI. Kerja sama dengan pihak Kompeni Belanda itu melahirkan kontroversi. Sebab, kata sejarawan dari Universitas Hasanuddin, Dr Mukhlis Paeni, sementara kerajaan-kerajaan lain sibuk melawan kekuatan asing, justru Arung Palakka muncul sebagai sosok yang mau bekerja sama dengan pihak asing. "Di sinilah dituntut kearifan kita, menempatkan Arung Palakka secara proporsional," pinta Prof Drs Burhamzah MBA. Menurut Burhamzah, kehadiran Arung Palakka bersama cita-citanya melepaskan rakyat Bone dari penjajahan, bukan saja lantas menjadi milik rakyat Bone tetapi juga milik semua umat manusia yang menginginkan kebebasan, memperoleh hak azasi sebagai manusia merdeka. Menurut Mukhlis Paeni, kegiatan berpikir yang mucul ketika Arung Palakka melibatkan diri dalam perang Makassar 1660-1669 harus dipahami betul. Bagi orang Bugis, hidup ini adalah harga diri (siri) yang mesti dipelihara dengan yang lainnya. Perlawanan Arung Palakka melawan Raja Gowa, menurut Prof Dr Abu Hamid hanyalah sebatas melepaskan Bone dari penjajahan Gowa. Ketika tujuannya tercapai, Arung Palakka perlahan-lahan melepaskan diri dari Kompeni Belanda. Peranan Arung Palakka dalam penyerangan Kompeni Belanda terhadap Benteng Somba Opu yang bobol 21 Juni 1669 juga amat kecil. Arung Palakka yang diangkat menjadi Mangkau (raja) Bone tahun 1672 hingga wafatnya 4 Juni 1696, menurut Abu Hamid lebih memilih mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil dengan apa yang disebut "perkawinan politik". Bangsawan Bone dinikahkan dengan bangsawan kerajaan lain di Sulawesi Selatan. "Hanya dengan perkawinan, tali kekerabatan bisa dipererat guna mencegah timbulnya perang." *** NAMUN memulihkan nama baik Arung Palakka bukan pekerjaan mudah. Soalnya, menurut Mukhlis Paeni, orang masih berpikir hitam putih tentang sejarah, siapa yang memihak Belanda dia adalah pengkhianat. Tetapi bila dunia dilanda perang memperjuangkan hak azasi manusia, kebebasan dari segala bentuk penindasan, maka orang akan mengatakan Arung Palakka sudah melakukan itu pada abad ke-17. Yang pasti, menurut Gubernur Sulsel Achmad Amiruddin, memang diperlukan pengungkapan fakta-fakta lebih banyak lagi untuk otentik dan obyektifnya sebuah sejarah. "Tapi saya tegaskan, pengungkapan fakta sejarah itu harus lebih ditujukan kepada peningkatan kesatuandan persatuan. Jangan sebaliknya," tandas Amiruddin. (Andi Suruji)(KOMPAS - Minggu, 24 Jan 1993 Halaman: 8)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar