Arung Palakka, Legenda dan Kontroversi
PANAS setahun terhapus hujan sehari. Begitu
kira-kira analogi yang tepat dialamatkan kepada sosok seorang Bugis, La
Tenritatta Arung Palakka, raja Bone ke-15 (1672-1696). Arung sendiri
berarti raja atau bangsawan, Palakka adalah sebuah kerajaan kecil.
Selama ini "stempel" yang melekat padanya adalah seorang pengkhianat.
Karena, sejak tahun 1665 ia disebut-sebut "bergandengan tangan" dengan
Kompeni Belanda untuk melepaskan rakyat Bone dari penjajahan Gowa. Ia
memang berhasil melepaskan rakyat Bone dari penjajahan Gowa, menyusul
ditandatanganinya Bongaisch Tractat (Perjanjian Bungaya), Jumat 18
Nopember 1667. Cap pengkhianat bagi Arung Palakka itu, ibarat "panas"
yang membuat rakyat Bone "kegerahan". Panas yang menyengat lebih dua
abad lamanya, kini terhapus bagai diguyur hujan dengan lahirnya
keputusan seminar dua hari Menelusuri Jejak Sejarah Arung Palakka untuk
Memperkaya Budaya Bangsa akhir Desember 1992 di kota Watangpone,
Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Seminar yang menghabiskan biaya
sekitar Rp 70 juta hasil swadaya masyarakat itu, berhasil menghapus cap
pengkhianat Arung Palakka. Ia direkomendasikan menjadi tokoh pejuang
pembebasan, pejuang kemanusiaan dan tokoh pemersatu. Seminar itu
menampilkan sejumlah sejarawan, seperti Prof Dr Abu Hamid, Dr Mukhlis
Paeni dari Universitas Hasanuddin, Dr Anhar Gonggong, Kasub. Direktorat
Sejarah pada Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Depdikbud, serta
sejarawan dan budayawan setempat sebagai pembicara. "Dulu ketika kami
ingin menyebut nama Arung Palakka, tertahan di dada ini. Sekarang dengan
hasil seminar ini, longgar saja kita menyebutnya," tutur Bupati Bone,
Andi Syamsoel Alam, ketika memberikan sambutan pada penutupan seminar.
*** BONE dan Gowa, di Sulawesi Selatan pada abad 17, adalah dua kerajaan
yang sama-sama berdaulat dan sederajat. Tetapi dalam segala hal, Gowa
jauh lebih besar. Akibat kepentingan mempertahankan eksistensi sebagai
kerajaan terbesar di kawasan timur Nusantara, Gowa memperluas wilayah
pengaruh dan kekuasaannya. Terbukti dengan dikuasainya sejumlah kerajaan
kecil di wilayah itu. Namun pada saat yang sama kekuatan Kompeni
Belanda ingin menguasai jalur-jalur perdagangan rempah-rempah dari timur
Nusantara Akibatnya, terjadi persaingan ekonomi yang merembes ke bidang
lain. Dalam usaha menguasai lebih banyak wilayah dan memperbesar
pengaruhnya, Gowa berkali-kali terlibat perang dengan Bone. Sampai
akhirnya Gowa berhasil menang, karena memiliki kekuatan yang jauh lebih
besar. Di samping itu, Gowa pun berusaha melawan kekuatan Kompeni
Belanda. Raja Bone La Maddaremmeng diasingkan ke Gowa sebagai
konsekuensi kalah perang. Sejak itulah campur tangan Gowa terhadap Bone
semakin besar. Bahkan menurut lontarak, naipoatana Bone seppulo pitu
taung ittana (Maka, diperbudaklah Bone selama 17 tahun lamanya). Selama
masa penawanan, La Tenritatta (nama kecil Arung Palakka) menjadi
pengawal Mangkubumi, Karaeng Pattingalloang. Ia diberi gelar Arung
Palakka oleh dewan adat Bone sebagai calon Mangkau (raja) Bone sekaligus
bukti bahwa Bone tetap melawan Gowa. Ia mulai mengerti makna hidup,
kebebasan dan harga diri (siri). Ia memahami dan menyadari betul
perasaan dan penderitaan orang-orang Bone yang diperlakukan
sewenang-wenang. Tindakan sewenang-wenang Gowa terhadap orang Bone,
utamanya dalam kegiatan kerja paksa membangun pertahanan benteng di
Somba Opu. Ketika itu, sekitar 10.000 orang dipaksa menyelesaikan parit
pertahanan benteng untuk menahan serangan Kompeni Belanda. Pemaksaan
pengumpulan hasil-hasil bumi dan pajak untuk membiayai perang
Gowa-Kompeni Belanda semakin menambah penderitaan hidup orang Bone.
Kesemuanya itu memicu semangat Arung Palakka menentang Raja Gowa. Ia
lalu menyusun strategi perlawanan. Awal pemberontakannya, September 1660
yang berlangsung sekitar tiga bulan dengan cepat dipatahkan. Arung
Palakka lalu melarikan diri ke Buton. Bersama Sultan Buton - juga
dikuasai Gowa - Arung Palakka berkesimpulan bahwa hanya dengan
menggunakan kekuatan Kompeni Belanda, dominasi Gowa dapat dipatahkan.
Maka Arung Palakka memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Kompeni
Belanda. Gowa dapat dikalahkan, dan Bone lepas dari penjajahan Gowa. ***
PERJALANAN sejarah perjuangan membebaskan Bone dari penjajahan Gowa,
membuat Arung Palakka menjadi tokoh legendaris. Setidaknya di mata orang
Bone. "Dialah tokoh pejuang pembebasan rakyat Bone dari tindakan
sewenang-wenang. Kendati bekerja sama pihak asing tetapi tujuannya
hanyalah mengangkat harkat dan martabat rakyat Bone yang
terinjak-injak," ujar Prof Dr Abdurrahman Suryomihardjo, pakar peneliti
dari LIPI. Kerja sama dengan pihak Kompeni Belanda itu melahirkan
kontroversi. Sebab, kata sejarawan dari Universitas Hasanuddin, Dr
Mukhlis Paeni, sementara kerajaan-kerajaan lain sibuk melawan kekuatan
asing, justru Arung Palakka muncul sebagai sosok yang mau bekerja sama
dengan pihak asing. "Di sinilah dituntut kearifan kita, menempatkan
Arung Palakka secara proporsional," pinta Prof Drs Burhamzah MBA.
Menurut Burhamzah, kehadiran Arung Palakka bersama cita-citanya
melepaskan rakyat Bone dari penjajahan, bukan saja lantas menjadi milik
rakyat Bone tetapi juga milik semua umat manusia yang menginginkan
kebebasan, memperoleh hak azasi sebagai manusia merdeka. Menurut Mukhlis
Paeni, kegiatan berpikir yang mucul ketika Arung Palakka melibatkan
diri dalam perang Makassar 1660-1669 harus dipahami betul. Bagi orang
Bugis, hidup ini adalah harga diri (siri) yang mesti dipelihara dengan
yang lainnya. Perlawanan Arung Palakka melawan Raja Gowa, menurut Prof
Dr Abu Hamid hanyalah sebatas melepaskan Bone dari penjajahan Gowa.
Ketika tujuannya tercapai, Arung Palakka perlahan-lahan melepaskan diri
dari Kompeni Belanda. Peranan Arung Palakka dalam penyerangan Kompeni
Belanda terhadap Benteng Somba Opu yang bobol 21 Juni 1669 juga amat
kecil. Arung Palakka yang diangkat menjadi Mangkau (raja) Bone tahun
1672 hingga wafatnya 4 Juni 1696, menurut Abu Hamid lebih memilih
mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil dengan apa yang disebut
"perkawinan politik". Bangsawan Bone dinikahkan dengan bangsawan
kerajaan lain di Sulawesi Selatan. "Hanya dengan perkawinan, tali
kekerabatan bisa dipererat guna mencegah timbulnya perang." *** NAMUN
memulihkan nama baik Arung Palakka bukan pekerjaan mudah. Soalnya,
menurut Mukhlis Paeni, orang masih berpikir hitam putih tentang sejarah,
siapa yang memihak Belanda dia adalah pengkhianat. Tetapi bila dunia
dilanda perang memperjuangkan hak azasi manusia, kebebasan dari segala
bentuk penindasan, maka orang akan mengatakan Arung Palakka sudah
melakukan itu pada abad ke-17. Yang pasti, menurut Gubernur Sulsel
Achmad Amiruddin, memang diperlukan pengungkapan fakta-fakta lebih
banyak lagi untuk otentik dan obyektifnya sebuah sejarah. "Tapi saya
tegaskan, pengungkapan fakta sejarah itu harus lebih ditujukan kepada
peningkatan kesatuandan persatuan. Jangan sebaliknya," tandas Amiruddin.
(Andi Suruji)(KOMPAS - Minggu, 24 Jan 1993 Halaman: 8)